Selasa, 12 April 2011

Makna Wajib Belajar Sembilan Tahun

MAKNA WAJIB BELAJAR SEMBILAN TAHUN DI INDONESIA DALAM REALISASINYA

1.    Pendahuluan
            Hampir satu dasawarsa pencanangan sekaligus pelaksanaan wajib belajar 9 tahun, namun evaluasi tentang program ini sedikit sekali. Pada awal dimulainya program ini banyak orang beranggapan bahwa SMP dihapus dan SD dijadikan 9 tahun. Yang beranggapan seperti inipun bukan hanya dari masyarakat awam, melainkan guru/pendidik banyak yang beranggapan demikian dampak dari pelaksanaan wajarpun juga sedikit yang mengevaluasi.
            Tetapi dalam pelaksanaanya tidak demikian pendidikan 9 tahun dikelompokan menjadi 2 yang terdiri dari SD 6 tahun dan SMP 3 tahun. Tidak ada ketentuan khusus tentang kategori anak yang layak masuk ke SD atau SMP adakalanya anak yang memiliki kekuranganpun masuk kesekolahan itu misalnya ada anak yang memiliki gangguan dalam berbicara ( tidak mampu melafalkan vocal yang standar ) atau penglihatanya tidak standar atau bahkan IQ nya yang rendah. Karena tidak ada criteria sebagai persyaratan masuk sekolah semua anak yang mendaftar diterima di berbagai SD, terutama bagi sekolah yang kekurangan murid, asal ada yang mendaftar umurnya cukup diterima. Di SD dia sudah lulus sehingga melanjutkan ke SMP diSMP pun kasus ini terjadi anak itu seharunya tidak layak masuk ke SMP karena keterbatasan IQ tetapi dia tetap duduk dibangku SMP. Di SMP dia juga diperlakukan sama dengan temanya yang lain sehinngga dia juga harus diluluskan.
            Pada akhirnya demi mencapai target sekolah anak diupayakan lulus dengan berbagai cara, sehinnga mutu terabaikan

2.      KERANGKA TEORI
            Untuk menghindari kesalahpahaman pengertian di atas, maka akan diuraikan beberapa pengertian atau peristilahan, sebagai berikut :
2.1.                    Makna
                        Yang dimaksud dalam makalah adalah penafsiran yaitu penafsiran tentanf apa arti  dari wajib belajar Jikan diartikan secara bahasa makna itu arti. Akan tetapi arti disini ditafsirkan yaitu dicaria maksunya apa, makna ini menjadi penting untuk dipahami agar kita tidak salah menyikapi wajib belajar tersebut, apakah wajib belajar 9 tahun itu berarti semua anak harus menjalani pendidikan selama 9 tahun dan harus lulus atau hanya wajib duduk dibangku sekolah selama sembilan tahun. Kata pertama bermakna kewajiban untuk sekolah atau kewajiban yang terbebankan kepada orang tua untuk menyekolahkan anaknya.  Dalam istilah bahasa Inggrisnya disebut `compulsory education`, sedangkan dalam bahasa Jepang disebut gimukyouiku, atau semestinya di dalam bahasa Indonesia kita terjemahkan menjadi pendidikan wajib.Kata kedua bermakna kewajiban belajar dengan tidak ada acuan apakah harus di lembaga yang bernama sekolah atau non sekolah.  Namun menarik untuk disimak pemaknaan kata `wajib belajar` dalam UU Sisdiknas 2003)[1].  Di bagian Ketentuan Umum pasal 1, ayat 18 tercantum pengertian wajib belajar, yaitu program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah. Sedangkan kata wajib belajar tidak dijelaskan secara jelas dalam UU Sistem Pendidikan no 2 tahun 1989.  Dalam UU ini, hanya disebutkan dalam pasal 14 ayat 1, warga negara yang berumur 6 tahun berhak mengikuti pendidikan dasar, dan di ayat selanjutnya disebutkan : warga negara yang berumur 7 tahun berkewajiban mengikuti pendidikan dasar atau pendidikan yang setara sampai tamat.  Ayat terakhir menyatakan : Pelaksanaan wajib belajar ditetapkan dengan peraturan pemerintah.Tetapi dapat disimpulkan bahwa pengertian UU tentang pengertian wajib belajar adalah sebenarnya sama dengan wajib sekolah.

2.2.                    Wajib belajar
                        Yang dimaksud wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah. PP no 47)[2]
Wajib Belajar adalah suatu tuntutan zaman yang harus dilaksanakan kepada seluruh bangsa Indonesia baik laki-laki maupun perempuan; usia sekolah 6 - 15 tahun  hal ini menjadi tugas pemerintah sesuai denga pembukaan UUD 1945 alinea ke 4 yang berbunyi “ Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” )[3] melihat kalimat tersebut maka peran pemerintah amat sentral dalam bidang pendidikan, untuk dapat mencerdaskan kehidupan bangsa pemerintah menyelenggarakan pendidikan, dan salah satu program pemerintah dalam pendidikan yaitu wajib belajar Sembilan tahun.
                        Menurut pasal 6 peraturan pemerintah no 47)[4]Pengelolaan program wajib belajar secara nasional menjadi tanggung jawab Menteri dalam hal kementrian pendidikan nasional. Koordinasi pengelolaan program wajib belajar pendidikan dasar  tingkat provinsi menjadi tanggung jawab gubernur.  Pengelolaan program wajib belajar pendidikan dasar tingkat  kabupaten/kota menjadi tanggung jawab bupati/walikota. Pengelolaan program wajib belajar pada tingkat satuan pendidikan dasar menjadi tanggung jawab pemimpin satuan pendidikan dasar. Maka disini dapat kita lihat tanggung jawab utama ada pada pemerintah pusat, ditingkat propinsi tanggung jawab ada pada gubernur dan ditingkat kota ada pada wali kota ,tanggung jawab terakhir tetap ada pada pimpinan institusi yaitu kepala sekolah
2.3.                           Relisasi
            Yang dimaksud dengan Realisasi pendidikan dasar Sembilan tahun  dalam makalah ini adalah bagaimana fakta dilapangan pelaksanaan wajib belajar tersebut. Kemudian realita itu akan dibandingkan dengan teori yang ada baik teori yang berupa ketentuan dalam Undang -  undang maupun teori pendidikan pada umumnya

3.            Pembahasan
3.1. Wajib Belajar 9 tahun
                        Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab. Pemerintah dan pemerintah daerah. Sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat tentang desentralisasi maka kewenangan penyelenggaraan pendidikan dikembalikan kepada pemerintah daerah. Akan tetapi segala kewajiban yang timbul terhadap penyelenggaran pendidikan tetap ditanggung oleh pemerintah pusat. Pemerintah pusat telah mengeluarkan berbagai kebijakan menyangkut pembiayaan pendidikan seperti program Biaya Operasinal Sekolah ( BOS ). Dalam penggunaanya Depdiknas mengeluarkan 5 macam kebijakan)[5] seperti:
1.  Biaya satuan BOS, termasuk BOS Buku, per siswa/tahun mulai januari 2009 naik secara signifikan menjadi: SD dikota Rp 400 ribu, SD di kabupaten Rp 397 ribu, SMP di kota Rp 575 ribu, dan SMP di kabupaten Rp 570 ribu.
2.  Dengan kenaikan kesejahteraan guru PNS dan kenaikan BOS mulai januari 2009, semua SD dan SMP negeri harus membebaskan siswa dari biaya operasional sekolah, kecuali RSBI dan SBI.
3.  Pemda wajib mengendalikan pungutan biaya operasional di SD dan SMP swasta sehingga siswa miskin bebas dari pungutan tersebut dan tidak ada pungutan berlebihan kepada siswa mampu.
4.  Pemda wajib mensosialisasikan dan melaksanakan kebijakan BOS tahun 2009 serta menyanksi pihak yang melanggar.
5.  Pemda wajib memenuhi kekurangan biaya operasional dari APBD bila BOS dari Depdiknas belum mencukupi.
                 Bantuan pembiayaan oleh pemerintah pusat dalam penyelenggaraan pendidikan memungkinkan pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pendidikan gratis untuk tingkat pendidikan dasar ( SD dan SMP, sederajat ) Tiap-tiap pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan yang beraneka ragam sesuai kemampuan daerah, bagi daerah yang memiliki anggaran APBD yang cukup maka pemerintah daerah akan memberikan bantuan derah yang dapat dipergunakan untuk penyelenggaraan kegiatan siswa
                             Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah, berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat. Wajib belajar berfungsi mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan  memperoleh pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara Indonesia.Wajib belajar bertujuan memberikan pendidikan minimal bagi warga negara Indonesia untuk dapat mengembangkan potensi dirinya agar dapat hidup mandiri di dalam masyarakat atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Dalam pelaksanaanya wajib belajar sembilan tahun terkesan mengabaikan kualitas dan hanya mengejar target kualitas, keinginan untuk meningkatkan kwalitas adalah tuntutan dan keinginan, kenapa tuntutan karena kita ingin maju tampa kwalitas yang baik tentu kemajuan tidak akan tercapai.

3.2. Landasan Hukum Wajib Belajar
Landasan hukum dapat diartikan peraturan baku sebagai tempat berpijak atau titik tolak dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu, dalam hal ini kegiatan pendidikan. Tetapi tidak semua kegiatan pendidikan dilandasi oleh aturan-aturan baku ini, contohnya aturan cara mengajar, cara membuat persiapan, supervisi, yang sebagian besar dikembangkan sendiri oleh para pendidik.
3.2.1.      UUD 1945, Pasal pasal yang bertalian dengan pendidikan dalam Undang Undang Dasar 1945 hanya 2 pasal, yaitu pasal 31 dan 32. Pasal 31 mengatur tentang pendidikan kewajiban pemerintah membiayai wajib belajar 9 tahun di SD dan SMP, anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD, dan sistem pendidikan nasional. Sedangkan pasal 32 mengatur tentang kebudayaan.
3.2.2.   Undang undang No 20 tahun 2003 tentang  system pendidikan nasional pasal 6 menyebutkan setiap warga negara yang berumur 7 samapai lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Undang – undang tidak memberikan persyaratan lain untuk mengikuti wajib belajar kecuali persyaratan umur dan warga negara Indonesia, maka dalam pelaksanaanya setiap anak Indonesia tentu berhak mengikuti pendidikan dasar, undang undang tidak mengatur persyaratan IQ termasuk tidak mengatur persyaratan kesehatan jasmani ataupun rohani, sehingga dari pasal tersebut dapat ditafsirkan setiap anak Indonesia berhak mengikuti pendidikan dasar Sembilan tahun.
3.2.3.   Undang – undang no 47 tahun 2008 tentang wajib belajar, pasal 1 ayat 1  menjelaskan wajib belajar adalah program minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab pemerintah, sementara pada ayat 2 dijelaskan pendidikan dasar itu adalah jenjang pendidikan yang melandasi sekolah menengan terdiri dari SD dan SMP sederajat. Sementara dalam pasal 2 dijelaskan fungsi wajib belajar itu merupakan perluasan kesempatan memperoleh kesempatan pendidikan bagi setiap warga negara Indonesia dan dalam ayat 2 dijelaskan wajib belajar memberikan pendidikan minimal kepada warga negara Indonesia. Dan dalam pasal lain disebutkan wajib belajar bias dilaksanakan dalam bentuk pendidikan formal dan non formal serta pelaksana wajib belajar adalah pemerintah



3.3. Pelaksanaan Wajib Belajar Sembilan Tahun
           Presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam pidatonya pada saat menyerahkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran ( DIPA ) di Istana Negara tanggal 5 Januari 2010 menyampaikan permintaanya tentang perlunya peningkatan kualitas wajib belajar pendidikan dasar Sembilan tahun)[6]
"Departemen Pendidikan Nasional dengan alokasi anggaran sebesar Rp 55,2 triliun yang diprioritaskan untuk peningkatan kualitas wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang lebih merata. Peningkatan akses, kualitas, dan relevansi pendidikan menengah dan tinggi," kata Presiden.
                      Pendidikan dasar merupakan pendidikan massa (mass education) atau ducation for all yang diwajibkan diikuti oleh setiap warga negara dalam kelompok usia tertentu (compulsory education). Pendidikan dasar (basic education) tidak sama dengan sekolah dasar (primary/elementary school). Sekolah Dasar merupakan salah satu jenjang pendidikan yang berlangsung selama 6 tahun. Sedangkan pendidikan dasar adalah pendidikan minimum yang wajib diikuti oleh setiap warga negara sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidup layak sebagai warga negara dan harga diri suatu bangsa.Wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun menunjukan bahwa peserta didik dalam usia pendidikan dasar harus dapat menyelesaikan pendidikan dasarnya tanpa terputus selama sembilan tahun, yaitu enam tahun di tingkat SD dan tiga tahun di tingkat SLTP atau satuan pendidikan yang sederajat. Dalam wajib belajar sembilan tahun, semua lulusan SD enam tahun secara otomatis harus bisa ditampung di jenjang SMP sebagai bagian dari program pendidikan dasar sembilan tahun
                      Mutu hasil belajar peserta didik dapat ditingkatkan jika didukung oleh proses pembelajaran yang bermutu. Indikator proses pembelajaran bermutu adalah yang sesuai dengan tujuan dan visi kurikulum yang telah ditetapkan. Oleh karena itu proses pembelajaran merupakan muara dari implementasi kurikulum. Implementasi kurikulum dilaksanakan oleh guru dengan menerjemahkan tujuan dan isi kurikulum ke dalam rancangan pembelajaran. Guru biasanya mengembangkan pembelajaran dengan bergantung kepada bahan ajar yang terdapat dalam Garis-garis Besar Program Pembelajaran (GBPP). Ketergantungan inilah yang bisa menjadikan guru tidak kreatif dalam mengimplementasikan kurikulum. Untuk mengatasi ketergantungan dan sikap tidak kreatif dari guru maka pemerintah mencanangkan kurikulum KTSP dimana tiap institusi diberi kesempatan untuk menyusun sendiri kurikulum yang akan mereka pergunakan di sekolah masing masing. Tiap guru mata pelajaran dapat merevisi acuan kurikulum yang ada, membuat sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masing masing dimana sekolah itu berada. Sekolah yang ada diperkotan tentu akan membutuhkan kurikulum yang berbeda dengan sekolah di daerah demikian juga sekolah yang ada di wilayah pertanian akan membutuh kan kurikulum yang berlain dari sekolah yang ada di wilayah industry.
Tidak sedikit siswa SMA yang kemampuan matematikanya, membacanya setara kelas IV SD. Ketika kelas 1 SD masih belum bisa membaca, belum lancar berhitung tetapi oleh sekolahnya tetap dinaikkan ke kelas II, alasannya klasik “ kitakan menyukseskan program pemerintah tentang wajib belajar 9 tahun ”.
                      Selanjutnya anak tersebut harus mengikuti pelajaran kelas II yang semakin sulit, tetapi tetap saja naik kelas III, karena kalau tidak masyarakat akan mengatakan bahwa itu sekolah yang tidak mendukung program pemerintah.
Belum lagi tentang kejadian yang dialami anak-anakku, setiap menemui materi yang sulit dilewati, terutama matematika. Selain itu seandainya ada PR dan jawabannya tidak sesuai dengan gurunya niscaya akan disalahkan, padahal benar jawaban anak-anak itu. Keterampilan hanya diajarkan mengumpulkan hasta karya yang ada di pasar, bukan ditunjukkan cara membuat suatu karya.
Tiba saatnya anak-anak tersebut masuk SMP, anak-anak yang kemampuannya, kompetensi dasarnya masih setingkat kelas IV SD dipaksakan untuk belajar materi SMP. Bisa kita bayangkan bagaimana sulitnya guru-guru SMP mengejar target kurikulum. Kalau guru di ibaratkan koki, maka siswa tadi adalah bahan mentah yang akan diolah sang koki untuk menjadi kue enak dengan nilai jual yang layak. Sebuah korelasi positif antara bahan mentah dan kue yang dihasilkan, yaitu jika bahan mentahnya bagus tentu akan dihasilkan kue yang bagus dan enak. Pun akan sebaliknya, koki mana yang sanggup membuat kue enak dan bagus kalau telur sebagai bahan mentah adalah telur busuk

                      Menjelang pelaksanaan Ujian Nasional Kepala Sekolah SMP kebingungan. Bagaimana tidak? “Atasan” menargetken tingkat kelulusan harus diatas 90%, dengan alasan yang sama juga klasiknya “bahwa SMP kan kena program wajib belajar 9 tahun”. Untuk apa kelulusan mereka dipersulit?
Tentunya permasalahannya bukan mempersulit atau mempermudah, tetapi kemampuan anak untuk mencapai standar kelulusan yang ditetapkan. Sebuah pertanyaan atau pernyataan bahwa wajib belajar 9 tahun sukses.
DILEMAE 2 (dilèmaé ; lem, lim = perekat). Dilemae, kita rekatkan saja, kita rapatkan saja, kita satukan saja, kita kristalkan saja pengertian tentang wajar 9 tahun. Setelah kita satu konsep tentang wajar, maka kita bisa bersama-sama untuk memajukan pendidikan. Pendidikan bukan hanya tanggung jawab guru atau sekolah. Seluruh Stake Holder School harus terlibat untuk keberhasilan pendidikan.
Pemerintah pusat seharusnya tidak menetapkan standar ganda. Menurut Undang-undang Sisdiknas bahwa gurulah yang berhak memberikan penilaian keberhasilan peserta didik. Namun seperti kita ketahui bersama ternyata pemerintah menentukan standar kelulusan siswa melalui Ujian Nasional. Cukupkah keberhasilan siswa selama tiga tahun hanya ditentukan dengan melihat hasil ujian selama tiga hari?.  Pemerintah harus instrospeksi, bukankah standar ganda itu melanggar Undang-undang?
                      Dalam hal wajar 9 tahun, pemerintahpun harus tegas. Apakah setelah sekolah selama 9 tahun harus memiliki ijazah SMP?  Apakah anak bangsa harus sekolah pada usia anak-remaja? Apakah anak bangsa harus sekolah tanpa memperhatikan kompetensi dasar yang dicapai? Saya lebih memilih bahwa hak mereka untuk sekolah adalah dijamin oleh Undang-undang. Namun sebaliknya kenaikan dan kelulusan mereka ada di tangan guru-guru mereka yang mengetahui ketercapaian kompetensi dasarnya. Gurulah yang berhak meniliai keberhasilan siswa begitulah yang diamanatkan oleh Undang-undang Sisdiknas. Sehingga kalau memang belum tercapai kompetensi dasarnya tidak harus dinaikkan, sekalipun anak tersebut telah menempuh selama 9 tahun. Hak anak adalah mendapatkan pengajaran, bukan kelulusan. Hak guru adalah menilai. Pemerintah berkewajiban melindungai semuanya, siswa, guru dan perangkat kurikulum yang berlaku serta menyediakan sarana prasarananya.
                      Pemerintah Daerahpun jangan hanya melihat bahwa prosentase kelulusan UAN sebagai prestise daerah. Fenomena ketakutan dianggap sebagai daerah tertinggal sangat menghantui para pemimpin daerah, bahkan kalau kita simak beberapa saat lalu ada kepala daerah yang mengancam akan memutasi Kepala Sekolah jika banyak siswa yang tidak lulus.
                      Disekolah pun para guru didesak dengan berbagai kebijakan seperti standar minimal atau Kriteria Ketuntasan Minimal ( KKM ). Kepala sekolah membuat kebijakan bahwa nilai yang diberikan oleh guru pada siswa harus diatas KKM. Jika hasil uijian siswa rendah harus melakukan perbaikan nilai, jika nilainya masih kecil lakukan cara lain untuk mendapatkan nilai agar nilainya diatas KKM. Mermberikan nilai dibawah KKM diharamkan, jika memberikan niali dibawah KKM berarti gurunya yang tidak bias mendidik siswa dengan baik, sehingga tidak jarang guru mendongkrak  nilai, ditambah lagi dengan beban guru yang banyak, guru yang mengajar 24 jam jika satu kelas 2 jam pelajaran maka guru akan mengajar murid sebanyak kurang lebih 480 siswa, jika siswa sebanyak itu darus dilakukan remedial separuhnya tentu itu bukan pekerjaan mudah ditambah lagi waktu yang tersedia singkat. Sehingga guru sering mencari jalan pintas setelah diupayakan perbaikan nilai tetapi hasilnya tidak memuaskan mungkin karena siswanya tidak hadir dan sebab sebab lainya .
                      Kelulusan pun demikian kepala sekolah berusaha agar semua siswanya lulus Ujian Nasional , kepala sekolah mendapat desakkan dari Pemerintah Daerah agar sekolah harus mencapai target siswanya lulus 100% paling tidak 90% jika tidak tercapai kepala sekolah akan dipecat. Hal ini menjadi pemicu kepala sekolah melakukan berbagai upaya untuk mencapai target lulus 100%, akhirnya guru,dan pihak terkait lainya hanya berusaha mengejar angka angka tidak mementingkan makna dari angka tersebut , adakanya anak nilainya 90 tetapi kemampuan anak itu sebenarnya tidak cukup , tidak menguasai kompetensi.
                      Untuk mengatasi persoalan ini maka perlu ditetapkan makna wajib belajar jika makna wajib belajar itu harus lulus/tamat sekolah dasar dan Sekolah Menengah Pertama  dalam 9 tahun tentu kebijakan diatas cukup beralasan, tetapi jikan wajib belajar tidak berarti wajib lulus dalam 9 tahun tetapi wajib menjalani pendidikan selama 9 tahun, hal diatas akan menjadi lemah. Jika hanya wajib menjalani pendidikan selama 9 tahun tidak berarti lulus dalam 9 tahun tetapi bias dia lulusnya 10 atau 11 tahun bias juga tidak lulus karena ketidakmampuanya menguasai kompetensi. Jika kebijakan demikian maka anak yang memiliki kecerdasan yang memadai akan lulus dan yang tidak tidak diluluskan, sehingga akan terujud lulusan yang berkualitas.

4.         Kesimpulan
                      Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai mana diamanatkan oleh pembukaan UUD 1945 memiliki semangat yang baik, karena itu semua itu harus didukung. Pemerintah mendudkung upaya itu dengan membentuk kementrian pendidikan nasional dan undang undang tentang sistem pendidikan nasional seperti yang tercantum dala bab VIII pasal tentang wajib belajar, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No 47 tahu tahun 2008 tentang wajib belajar, untuk menunjang wajib belajar pemerintah melalui kementrian pendidikan nasional mengeluarkan kebijakan BOS yang diperuntukan untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan pendidikan 9 tahun.
                      Dalam pelaksanaanya wajib belajar terkesan hanya difokuskan pada bagaimana pendidikan itu dilaksanakan kurang mempertimbangkan aspek kualitas, misalnya demi wajib belajar anak tidak boleh tinggal kelas, tidak boleh tidak lulus, semua anak yang masuk sekolah harus tamat, sehingga kualitas diabaikan , sekolipun anak belum mampu menguasai kompetensi yang harus dikuasai belum tercapai anak tetap naik kelas dan pihak sekolah berupaya bagaimana anak tersebut bias lulus ujian nasional.
                      Jika wajib belajar diartikan wajib menamatkan sekolah SD dan SMP maka tidak salah guru mengupayakan agar seluruh siswanya lulus, tetapi jika demikian dampak yang terjadi kualitas lulusanya rendah, akan tetapi jika wajib belajar 9 tahun artinya menjalani pendidikan 9 tahun terdiri dari 6 tahun di SD dan 3 tahun di SMP maka siswa tidak harus lulus dalam 9 tahun tapi lulusnya bias 10 tahun atau 11 tahun atau mungkin tidak lulus pendidikan 9 tahun , tapi juga yang perlu diingat dia sudah menjalani pendidikan 9 tahun. Jika makna pendidikan 9 tahun seperti demikian maka para gugu, kepala sekolah akan terhindar dari beban pencapaian target dan akan berkonsentrasi pada kualitas.

5.         Daftar Pustaka
1.         Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional ( UU Sisdiknas ) no 20
          tahun 2003.
2.         Undang Undang Dasar 1945, Sektretaris negara
3.         http://www.google.co.id, 16 juni 2010
4.         Ali, M. (1992). Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Bandung Sinar
           Baru.
5.         Hirst P.H., (1974). Knowledge and the  Curriculum.  London:  Rpoutledge 
           Kegan  Paul, Limited.
6.         Resnick, A.S., and Kofler, L.E., (1989). Toward the Thinking Curriculum:
7.         Urrent Cognitive Research. 1989 Year Book of ASCD.
8.         Wiles, B., and Bondi J., (1989). Curriculum Development: A Guide to
          Practice. Columbus: Merril Published Co.





[1] .UU sisdiknas n0 2 tahun 1989,sekretarian negara.
[2] PP no 47,tahun 2008, hal pasal 1.
[3] UUD 1945 amandemen,2003 Sekretaris negara.
[4] Ibit pasal 7

1 komentar: